Cari Blog Ini

Rabu, 15 September 2010

Belajar Soal Susu Dari Negeri Cina

Tahun 2010 ini, ASEAN-China Free trade Agreement (AC-FTA) akan diberlakukan, Pemerintah sangat optimis pada perdagangan bebas ini, karena perekonomian Indonesia diprediksi akan tumbuh positif. Optimisme pemerintah terhadap AC-FTA ternyata berbeda dengan para pelaku bisnis yang justru sangat pesimis.

Para pengusaha sangat yakin produk nasional akan kalah bersaing oleh produk asal China yang sangat kompetitif. Kemampuan menghasilkan produk yang kompetitif, tiada lain dari peran pemerintah yang sungguh sungguh berpihak pada usaha rakyat dalam menginovasi teknologi.

Salah satu komoditi peternakan yang diandalkan dapat tumbuh dan memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi adalah bidang persusuan. Di Indonesia Industri ini mulai tumbuh dan berkembang di era tahun tahun 70-80an.

Pembangunan Industri persusuan terjadi secara besar-besaran di kota yang memiliki pelabuhan laut internasional. Hal ini dilakukan karena bahan bakunya sebagian besar berasal dari impor. Bersamaan dengan membangun Industri Pengolah Susu, dilakukan pula importasi sapi hidup dari Australia dan New Zealand secara besar-besaran pada akhir tahun 1979 sampai dengan tahun 1980an.

Kini, setelah berjalan lebih dari 20 tahun, keadaan peternakan sapi perah di Indonesia seperti jalan ditempat bahkan cenderung menurun, karena rasio produksi susu dalam negeri dengan impor pada tahun 1990an berkisar 50:50 dan saat ini kontribusinya berkisar di 30 : 70. Rata-rata produksi per ekor per hari hanya 10-12 liter, skala usaha per keluarga peternak relatif tetap sekitar 3-4 ekor.

Jika kita dihadapkan pada situasi tersebut rasa-rasanya AC-FTA akan merupakan tantangan berat bagi peternak di negeri ini. Atas dasar itu, agar kita dapat bersaing dengan produk yang berasal dari China maka kita harus tahu apa yang telah dan tengah dilakukan oleh industri peternakan di sana. Berdasarkan pengalaman penulis mengunjungi beberapa propinsi di China, kiranya patut dijadikan teladan sebagai berikut;

Belajar Dari China


Dalam sepuluh tahun terakhir, industri persusuan di China telah tumbuh dan berkembang sangat pesat ketimbang negera-negara lainnya di dunia, dengan rata-rata tumbuh 10- 25 % per tahun (lihat Tabel). Kini, China telah menjadi 10 besar negera penghasil susu di dunia.

Pertumbuhan tersebut terjadi sebagai akibat dari investasi dan inovasi teknologi yang dilakukan secara besar-besaran. Konsep kawasan sebagai “pusat pengembangan sapi perah di perdesaan” atau Village Milking Centre (VMC) merupakan basis pengembangan kawasan peternakan sapi perah.

Ribuan VMC telah beroperasi dengan skala usaha antara 50-2 000 sapi laktasi didukung oleh infra struktur dan teknologi yang kondusif. Di sektor pasar, Pemerintah China melakukan program minum susu bagi anak sekolah yang pembiayaannya di tanggung pemerintah. Kesemuanya merupakan inisiasi pemerintah yang telah memberikan iklim kondusif bagi usaha ternak sapi perah rakyat di China.

Teknologi Embryo Transfer


Beberapa Kebijakan pemerintah China yang telah diberikan kepada peternakan rakyat agar industri persusuannya dapat tumbuh dan berkembang, yaitu dilakukannya program pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada peternak yang mau menerapkan program Embryo Transfer (ET). Peternak yang mengikuti program ET diberikan BLT sekitar 500 RMB (Rp. 675.000,00) dan sebesar 1500 RMB (Rp. 2.025.000,00) jika ternak tersebut terus diusahakan sampai berproduksi.

Selain itu, fasilitas kredit peternak disubsidi bunganya oleh pemerintah dan peternak mendapatkan bunga 0%, fasilitas lahan tanpa sewa diberikan untuk 50 tahun dan lahan tersebut bisa dimiliki jika peternak berhasil mengembangkan usahanya. Investasi kandang pun disubsidi sekitar (30-50) %, infrastruktur pendukung lainnya berupa jalan dan sistem komunikasi di perdesaan sama dengan di perkotaan.

Dampak kebijakan tersebut, telah mampu menumbuh kembangkan industri peternakan sapi perah di perdesaan. Peningkatan produksi susu rakyat dari 3000 kg/laktasi meningkat menjadi 4000 kg/laktasi, bagi perusahaan dari 6000kg/laktasi menjadi 8000 kg/laktasi hanya dalam kurun waktu antara 5-10 tahun. Sehingga harga produksi nya memiliki daya saing (kompetitif), karena sebagian besar beban produksinya sangat rendah.

Bagaimana di Indonesia ?


Semua kita tahu, bahwa beban pajak (PBB) bagi lahan pertanian tidak mendapatkan insentif. Katakanlah lahan yang tidak diusahakan malah mendapatkan keringanan PBB dibandingkan dengan lahan yang diusahakan. RUU tentang lahan abadi pun masih diperuntukan bagi pertanian padi.

Fasilitas kredit yang ada seperti KUPS (kredit Usaha Perbibitan Sapi) yang bunganya disubsidi 5% ternyata masih sangat sulit diakses. Inovasi teknologi boleh juga dikatakan menjadi kendala. Contoh kasus penggunaan hormon pertumbuhan (HGP) yang dilarang di negeri ini, sementara kita mengimpor susu dari negara yang menggunakan HGP. Bagaimana produksi susu di negeri ini mau tumbuh dan berkembang sementara banyak kebijakannya yang kontra produktif. Kesemua hal tersebut telah menciptakan produk hasil usahanya menjadi tidak memiliki daya saing (kompetitif).

Agar peternak sapi perah di dalam negeri dapat bersaing, kiranya pemerintah harus mampu memberikan perlakuan yang sama seperti yang diberikan oleh negara lain terhadap peternaknya. Sepanjang hal tersebut tidak dilakukan, rasa-rasanya negeri ini hanya akan menjadi negara pengimpor susu terbesar di kawasan asia tenggara.

Gambar-gambar diambil dari :

  • shoppingnsales.com
  • nilgs.affrc.go.jp
  • sylvietanaga.wordpress.com
  • chinadaily.com.cn
  • liputan1.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar