Cari Blog Ini

Sabtu, 31 Juli 2010

LANDASAN TEORI

BAB 2

LANDASAN TEORI



2.1 Citra Digital

Beberapa teori tentang citra digital dipaparkan sebagai berikut.


2.1.1 Definisi citra digital

Menurut Sachs (1999, hal:1), citra digital merupakan suatu gambar yang tersusun dari
pixel, dimana tiap pixel merepresentasikan warna (tingkat keabuan untuk gambar
hitam putih) pada suatu titik di gambar.

Sedangkan menurut Fahmi (2007, hal:7), citra digital adalah gambar dua
dimensi yang dapat ditampilkan pada layar monitor komputer sebagai himpunan
berhingga (diskrit) nilai digital yang disebut dengan pixel (picture elements).

Fahmi (2007, hal:7) menyatakan bahwa citra digital (diskrit) dihasilkan dari
citra analog (kontinu) melalui digitalisasi. Digitalisasi citra analog terdiri atas
penerokan (sampling) dan kuantisasi (quantization). Penerokan (sampling) adalah
pembagian citra ke dalam elemen-elemen diskrit (pixel), sedangkan kuantisasi
(quantization) adalah pemberian nilai intensitas warna pada setiap pixel dengan nilai
yang berupa bilangan bulat.




Universitas Sumatera Utara2.1.2 Klasifikasi citra digital

Berdasarkan cara penyimpanan atau pembentukannya, citra digital dibagi menjadi 2
jenis, yaitu :

1. Gambar Bitmap (raster), yaitu gambar yang terbentuk dari sekumpulan titik
penyusun gambar (pixel). Gambar bitmap dipengaruhi oleh banyaknya pixel,
sehingga semakin banyak jumlah pixel maka kualitas gambar semakin baik
dan halus, begitu pula sebaliknya. Gambar bitmap biasanya diperoleh dari
scanner, kamera digital, kamera handphone, dan sebagainya.

2. Gambar vektor, yaitu gambar yang terbentuk dari garis, kurva, dan bidang
yang masing-masing merupakan suatu formulasi matematik. Jika gambar
vektor diperbesar, maka kualitas gambarnya masih tetap baik dan tidak
berubah. Gambar vektor biasanya dibuat dengan menggunakan aplikasi –
aplikasi gambar vektor seperti Corel Draw, Adobe Illustrator, Macromedia
Freehand, dan sebagainya (Alinurdin, 2006).

Sedangkan berdasarkan warna-warna penyusunnya, menurut Fahmi (2007,
hal:8) citra digital dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu :

1. Citra biner, yaitu citra yang hanya terdiri atas dua warna, yaitu hitam dan
putih. Oleh karena itu, setiap pixel pada citra biner cukup direpresentasikan
dengan 1 bit. Contoh citra biner adalah pada gambar 2.1 berikut .


Gambar 2.1 Citra Biner
Universitas Sumatera Utara2. Citra grayscale, yaitu citra yang nilai pixel-nya merepresentasikan derajat
keabuan atau intensitas warna put ih. Nilai intensitas paling rendah
merepresentasikan warna hitam dan nilai intensitas paling tinggi
merepresentasikan warna putih. Pada umumnya citra grayscale memiliki
kedalaman pixel 8 bit (256 derajat keabuan), tetapi ada juga citra grayscale
yang kedalaman pixel-nya bukan 8 bit, misalnya 16 bit untuk penggunaan yang
memerlukan ketelitian tinggi. Contohnya adalah pada gambar 2.2 berikut.









Gambar 2.2 Citra Grayscale

3. Citra berwarna, yaitu citra yang nilai pixel-nya merepresentasikan warna
tertentu. Banyaknya warna yang mungkin digunakan bergantung kepada
kedalaman pixel citra yang bersangkutan. Citra berwarna direpresentasikan
dalam beberapa kanal (channel) yang menyatakan komponen-komponen
warna penyusunnya. Banyaknya kanal yang digunakan bergantung pada model
warna yang digunakan pada citra tersebut. Contoh model warna yang biasa
digunakan pada citra digital adalah RGB dan YCbCr.

Dari klasifikasi citra tersebut, maka penelitian dilakukan pada gambar bitmap
karena citra digital termasuk gambar bitmap dan terbentuk dari pixel – pixel yang akan
dimanfaatkan dalam teknik penyisipan watermark.




Universitas Sumatera Utara2.1.3 Pixel (picture element)

Gambar yang bertipe bitmap tersusun dari pixel-pixel (dot). Pixel adalah titik
penyusun gambar yang berkumpul dan bergabung membentuk seperti mozaik yang
memanipulasi mata sehingga pada jarak pandang tertentu akan tampak kesan gambar
utuh (Alinurdin, 2006).

Banyaknya pixel tiap satuan luas tergantung pada resolusi yang digunakan.
Menurut Alinurdin (2006, hal:2) resolusi adalah banyaknya pixel dalam setiap satuan
panjang yang dinyatakan dalam satuan dpi (dot per inch). Keanekaragaman warna
pixel tergantung pada bit depth yang dipakai. Bit depth menentukan banyaknya
informasi warna yang tersedia untuk ditampilkan dalam set iap pixel. Misalkan suatu
gambar memiliki bit depth = 24. Berarti ada 16 juta (224)
1. bmp (Windows Bitmap).
kemungkinan warna pada
gambar tersebut. Oleh karena itu, semakin tinggi resolusi dan bit depth suatu citra,
maka semakin bagus kualitas gambar yang dihasilkan dan tentu saja ukuran file-nya
juga semakin besar.


2.1.4 Format file citra

Format file menentukan bagaimana informasi data direpresentasikan dalam suatu file.
Informasi tersebut meliputi ada tidaknya kompresi, program aplikasi (feature) yang
didukung (support), penggunaan enkripsi, dan lain-lain. Tiap format file memiliki
kelebihan dan kelemahan masing-masing.

Dalam sistem operasi Windows, format file dapat dibedakan dari namanya
yaitu diakhiri t it ik dan diikuti dengan tiga atau empat huruf terakhir sebagai penanda
format. Untuk file citra (image), format yang umum digunakan adalah :

Merupakan representasi dari citra grafis yang terdiri dari susunan tit ik-t itik
yang tersimpan di memori komputer. Format ini dikembangkan oleh Microsoft
dan nilai setiap titik diawali oleh satu bit data untuk gambar hitam putih atau
Universitas Sumatera Utaralebih bagi gambar berwarna. Format bmp menggunakan kompresi tipe lossless,
berarti tidak ada data yang dibuang selama proses kompresi (Hajar, 2007).

2. gif (Graphics Interchange Format)
Merupakan format gambar yang mampu menayangkan maksimum 256 warna
dan mendukung warna transparan dan animasi sederhana. Format ini
mengkompresi gambar dengan sifat lossless, berarti terdapat data yang hilang
selama proses kompresi (Hajar, 2007).

3. jpg / jpeg (Joint Photographic Experts Group)
Format ini mampu menayangkan warna dengan kedalaman 24 bit true color
dan menggunakan kompresi tipe lossy. Kompresi jpeg berbasis DCT (Discrete
Cosine Transform). Kualitas jpeg bisa bervariasi tergantung setting kompresi
yang digunakan (Hajar, 2007).

4. png (Portable Network Graphics)
Merupakan salah satu format penyimpanan citra dengan kompresi tipe lossless.
Format png diperkenalkan untuk menggantikan format gif dan umumnya
dipakai untuk citra web (Hajar, 2007).

5. tiff (Tagged Image File Format)
Merupakan format yang sering digunakan, mendukung citra compressed
berbagai metode dan uncompressed (Paryono et al, 2008).


2.2 Digital Watermarking

Masalah kepemilikan memang suatu masalah yang sangat pelik, bahkan lebih parah
dari masalah pembajakan. Jika suatu pihak membajak suatu software misalnya, maka
pihak tersebut hanya akan merugikan dari sisi keuangan saja. Tetapi jika pihak itu
mengganti string pada suatu program sehingga seakan akan menjadi miliknya dan
memasarkannya, maka pembuat aslinya akan mengalami kerugian dua kali. Kesulitan
pemberian hak cipta akan jauh lebih sulit jika kita berurusan dengan benda-benda
Universitas Sumatera Utaradigital seperti file, gambar, suara atau semacamnya. Benda-benda semacam ini tidak
dapat dengan mudahnya diberi stempel atau diberi tanda lainnya.

Salah satu cara yang banyak digunakan saat ini adalah dengan memberikan
suatu tanda kepemilikan yang dapat dengan mudah dilihat oleh semua orang. Tapi
bagi yang sedikit mengerti tentang penggunaan program pengolah citra digital seperti
Adobe Photosop, Paint Shop Pro, ataupun program lainnya, maka penghilangkan
label tersebut dapat dilakukan dengan mudah. Bahkan tidak hanya menghilangkan,
karena label yang telah diberikan juga dapat diganti dengan mudah. Penggunaan data
digital selain dikarenakan kemudahannya dalam penyebaran menggunakan jaringan
Internet, juga dikarenakan kemudahan dan kemurahannya dalam penggandaan
(peng-copy-an) serta penyimpanan untuk digunakan dikemudian hari.


2.2.1 Asal usul watermarking

Metode watermarking sudah dikenal ribuan tahun yang lalu, dimana yang cukup
dikenal adalah sejarah di jaman Herodotus. Pada saat tersebut, Histiaeus membuat
pesan rahasia dengan mentato kepala ajudannya, kemudian membiarkan rambutnya
tumbuh sebelum diutus ke Aristagoras, yang harus mencukur kepala ajudan tersebut
sebelum mengetahui pesan yang dikirim. Sampai saat ini watermarking digunakan
Adanya permintaan akan jaminan hak cipta dalam bentuk perangkat lunak
ataupun perangkat keras menyebabkan teknologi digital watermarking sangat
diperlukan. Dalam bentuk digital, penyebaran dokumen secara tidak sah dapat
dilakukan lebih mudah. Karena dengan kemajuan komunikasi data yang semakin baik,
penduplikasian dan penyebaran dokumen akan menjadi lebih cepat dan murah
dibandingkan dengan dokumen berupa kertas. Berbeda dengan hasil duplikasi

sebagai metode untuk melindungi hak cipta suatu karya yang dipublikasikan dalam
bentuk digital, mengingat proses duplikasi sebuah digital copy yang hasilnya sangat
identik dengan aslinya dan menyebarkan hasil copy-an tersebut dengan sangat mudah,
untuk kemudian digunakan kembali ataupun dimanipulasi datanya (Rodiah, 2004).

Universitas Sumatera Utarapada dokumen kertas, hasil duplikasi pada dokumen digital tidak akan berbeda dengan
dokumen aslinya.


2.2.2 Watermark dan watermarking

Watermark didefinisikan sebagai data tersembunyi yang ditambahkan pada sinyal
pelindung (cover signal) sedemikian rupa sehingga penambahan tersebut tidak terlihat
(Watermarking World, 2002). Lebih jauh lagi, watermark juga berupa kode yang
membawa informasi mengenai pemilik hak cipta, pencipta, pembeli yang sah, dan
segala sesuatu yang diperlukan untuk menangani hak kepemilikan digital. Watermark
sengaja ditanamkan secara permanen pada data digital sedemikian hingga pengguna
yang berwenang dapat dengan mudah membacanya, di sisi lain watermark tersebut
haruslah tidak mengubah isi media kecuali sedikit atau perubahan tersebut tidaklah
tampak atau kurang begitu tampak bagi indera manusia (Barni et al, 1998).

Watermark (tanda air) ini agak berbeda dengan tanda air pada uang kertas.
Tanda air pada uang kertas masih dapat kelihatan oleh mata telanjang manusia
(mungkin dalam posisi kertas yang tertentu), tetapi watermarking pada media digital
disini dimaksudkan tak akan dirasakan kehadirannya oleh manusia tanpa alat bantu
mesin pengolah digital seperti komputer, dan sejenisnya.

Jika watermark merupakan sesuatu yang ditanamkan, maka watermarking
merupakan proses penanaman watermark tersebut. Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa watermarking adalah suatu cara penyembunyian atau penanaman data
atau informasi ke dalam suatu data digital lainnya, tetapi tidak diketahui
kehadirannya oleh indera manusia (indera penglihatan atau pendengaran) dan mampu
menghadapi proses-proses pengolahan sinyal digital sampai pada tahap tertentu
(Supangkat et al, 2000).




Universitas Sumatera Utara2.2.3 Tujuan watermarking

Menurut Rodiah (2004, hal:4), beberapa tujuan watermarking adalah :

1. Menjaga sedemikian rupa agar dokumen-dokumen elektronik yang berisi
transaksi elektronik yang otentik tetap terjaga kualitas legal dan bobot
buktinya.

2. Untuk aplikasi perlindungan hak cipta, tanda yang disisipkan pada dokumen
(gambar, teks, atau audio) digunakan sebagai identifier yang menunjukkan hak
kepemilikan. Jenis tanda air mempengaruhi keefektifan tanda air itu sendiri
dalam setiap aplikasinya, apakah bersifat tampak oleh mata ataupun tidak.

3. Dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan, namun dengan cara yang
berbeda. Tanda air digital digunakan untuk memberikan identifikasi sebuah
dokumen atas informasi sumber daya, penulis, kreator, pemilik, distributor,
dan konsumer yang berhak atas dokumen tersebut.


2.2.4 Karakteristik watermarking

Menurut Sirait (2006, hal:43), mutu dari metode watermarking meliput i beberapa
parameter-parameter utama berikut ini :

1. Fidelity
Perubahan yang disebabkan oleh tanda (watermark) seharusnya tidak
mempengaruhi nilai isi, idealnya tanda harusnya tidak dapat dilihat sehingga
tidak dapat dibedakan antara data yang ter-watermark dan data yang asli. Salah
satu trade-off antara karakteristik watermarking yang sangat kelihatan adalah
antara robustness dengan fidelity. Dalam beberapa literatur, fidelity kadang
disebut dengan invisibility untuk jenis data citra dan video. Yang dimaksud
dengan fidelity di sini adalah derajat degradasi host data sesudah diberi
watermark dibandingkan dengan sebelum diberi watermark. Biasanya bila
Universitas Sumatera Utararobustness dari watermark tinggi, maka memiliki fidelity yang rendah,
sebaliknya robustness yang rendah dapat membuat fidelity yang tinggi. Jadi
sebaiknya dipilih trade-off yang sesuai sehingga keduanya dapat tercapai
sesuai dengan tujuan aplikasi. Untuk host data yang berkualitas tinggi, maka
fidelity dituntut setinggi mungkin sehingga tidak merusak data aslinya.
Sedangkan untuk host data yang memiliki noise (kualitas kurang), maka
fidelity-nya dapat rendah seperti pada siaran radio, suara pada telepon, ataupun
broadcast acara televisi.

2. Robustness
Watermark di dalam host data harus tahan terhadap beberapa operasi
pemrosesan digital yang umum seperti pengkonversian dari digital ke analog
dan dari analog ke digital, dan manipulasi data. Pada robust watermark, data
disisipkan dengan sangat kuat sehingga jika ada yang berusaha menghapusnya
maka gambar atau suara yang disisipi akan ikut rusak dan tidak punya nilai
komersil lagi.

3. Security
Watermarking harus tahan terhadap segala usaha sengaja memindahkan atau
men-copy watermark dari satu multimedia data ke multimedia data lainnya.
Dari ketiga kriteria ini, fidelity merupakan kriteria paling tinggi.


2.2.5 Attack (serangan)

Menurut Ferdian (2006, hal:5), beberapa attack (serangan) dasar terhadap citra ter-
watermark yaitu :

1. Horizontal Flip
Serangan ini dilakukan hanya dengan membalikkan gambar secara horizontal.
Metode ini tampak sangat sederhana, namun beberapa skema watermarking
tidak lolos dari serangan ini

Universitas Sumatera Utara 2. Rotasi
Rotasi dilakukan biasanya dengan derajat perputaran yang sangat kecil,
sehingga citra tampak tidak berubah. Namun karena perputaran yang kecil
tersebut, watermark tidak dapat terdeteksi lagi.

3. Cropping
Yaitu pemotongan citra menjadi bagian-bagian kecil. Hal ini mengakibatkan
watermark tidak utuh dan kemudian menjadi tidak terdeteksi lagi.

4. Scaling
Penskalaan dapat dibedakan menjadi 2 jenis, uniform dan non-uniform.
Penskalaan uniform mengubah ukuran citra dengan faktor skala yang sama,
baik vertikal maupun horizontal. Sedangkan pada non-uniform scaling, faktor
skala vert ikal dan horizontal berbeda.

5. Penghapusan garis atau kolom pada citra
Cara ini dilakukan dengan menghapus satu kolom atau satu baris pada citra.
Cara ini sangat efektif dilakukan untuk melawan teknik spread-spectrum.

6. Random geometric distortions
Melakukan distorsi geometris secara acak. Biasanya merupakan gabungan dari
teknik-teknik dasar.

Attack (serangan) ini akan menyebabkan terjadinya perubahan bit pada citra
ter-watermark, sehingga apabila dilakukan ekstraksi, maka watermark yang telah
dipisahkan akan tampak sangat berbeda dibandingkan dengan watermark yang
disisipkan pada awalnya.


2.3. Proses Watermarking

Pada dasarnya pemberian watermarking dapat dipandang sebagai proses
penggabungan dua buah informasi sedemikian rupa sehingga masing-masing
Universitas Sumatera Utarainformasi hanya dideteksi oleh detector yang berbeda. Sinyal watermarking
dipadukan dengan sinyal media, video, audio, atau gambar dengan watermarking
inserter. Tentu saja sinyal watermarking ini disisipkan (di-encode) sehingga dapat
merepresentasikan informasi tertentu. Hasil penggabungan ini adalah sinyal media
yang telah ter-watermarking.

Untuk penyisipan informasi watermark pada citra, teknik-teknik penyisipan
dilakukan dengan membuat modifikasi pada citra asli. Modifikasi dilakukan pada
bagian-bagian yang secara persepsi tidak dapat dilihat oleh indera penglihatan.
Informasi watermark didapatkan kembali dari citra ter-watermark dengan mendeteksi
adanya perubahan-perubahan (modifikasi) tersebut.

Ada banyak teknik modifikasi dalam berbagai domain yang dapat digunakan
untuk penyisipan data dan mendapatkan data hasil watermarking. Proses transformasi
yang dikenal dalam pemrosesan sinyal digital adalah seperti Fast Fourier Transform
(FFT), Discrete Cosine Transform (DCT), Wavelet Transform, dan sebagainya.

Akan tetapi dari berbagai penelitian yang sudah dilakukan, belum ada suatu
metode watermarking ideal yang bisa tahan terhadap semua proses pengolahan digital
yang mungkin. Biasanya masing-masing penelitian memfokuskan pada hal-hal
tertentu yang dianggap penting. Penelitian di bidang watermarking ini masih terbuka
luas dan semakin menarik, salah satunya adalah karena belum ada suatu standar yang
digunakan sebagai alat penanganan masalah hak cipta ini (Rodiah, 2004).


2.3.1 Penyisipan watermark (encode)

Penyisipan (encode) dalam watermarking adalah suatu proses untuk menyisipkan
sinyal low-energy ke sinyal utama (cover signal) untuk menyembunyikan keberadaan
sinyal low-energy tersebut (Rodiah, 2004). Sinyal low energy yaitu label watermark
yang bersifat monokrom dan cover signal yaitu dokumen yang disisipkan seperti
gambar, video, suara, atau teks dalam format digital.
Universitas Sumatera Utara Label watermark adalah suatu data atau informasi yang akan disisipkan ke
dalam data digital yang ingin di-watermark. Menurut Rodiah (2004, hal:16), ada dua
jenis label watermark yang dapat digunakan, yaitu :

1. Text biasa
Label watermark dari text biasanya menggunakan nilai-nilai ASCII dari
masing-masing karakter dalam text yang kemudian dipecahkan atas bit-per-bit.
Kelemahan dari label ini adalah kesalah pada satu bit saja akan menghasilkan
hasil yang berbeda dengan text sebenarnya.

2. Logo atau Citra atau Suara
Berbeda dengan text, kesalahan pada beberapa bit masih dapat memberikan
persepsi yang sama dengan aslinya oleh pendengaran maupun penglihatan
kita, tetapi kerugiannya adalah jumlah data yang cukup besar.


2.3.2 Ekstraksi watermark (decode)

Ekstraksi (decode) adalah proses pemisahan watermark dengan citra asal. Hasil
penelitian memberikan hasil bahwa verifikasi dengan menggunakan data aslinya akan
memberikan performansi yang lebih baik dibandingkan dengan cara ekstraksi tanpa
menggunakan data asli (Rodiah, 2004).

Watermarking dapat menggunakan kunci untuk meningkatkan keamanannya,
dimana kunci tersebut digunakan untuk membangkitkan bilangan acak dalam
penanaman watermark. Akan tetapi menurut Fahmi (2007, hal:12), proses encode dan
decode juga tidak selalu menggunakan kunci. Proses decode juga tidak selalu
menyertakan data asli yang belum diberi watermark. Terhadap watermark yang ter-
ekstraksi dilakukan verifikasi yang dapat menghasilkan kesimpulan terhadap
watermark tersebut. Proses verifikasi ini tidak selalu menyertakan citra asli.



Universitas Sumatera Utara2.4 Transformasi DCT

Cara melakukan perpindahan dari domain koordinat ke domain frekuensi yaitu dengan
menggunakan DCT (Discrete Cosine Transform). Menurut Rodiah (2004, hal:19),
pada dasarnya DCT merupakan suatu transformasi one-to-one mapping dari suatu
array yang terdiri dari nilai pixel menjadi komponen-komponen yang terbagi
berdasarkan frekuensinya. Dengan memperhatikan efek pembulatan angka pada
proses pembalikan kembali transformasi, maka transformasi pembalikan ini dikenal
dengan IDCT (Inverse Discrete Cosine Transform).

Menurut Fahmi (2007, hal:9), Discrete Cosine Transform adalah sebuah fungsi
dua arah yang memetakan himpunan N buah bilangan real menjadi himpunan N buah
bilangan real. Secara umum, DCT satu dimensi menyatakan sebuah sinyal diskrit satu
dimensi sebagai kombinasi linier dari beberapa fungsi basis berupa gelombang
kosinus diskrit dengan amplitudo tertentu. Masing-masing fungsi basis memiliki
frekuensi yang berbeda-beda, sehingga transformasi DCT termasuk ke dalam
transformasi ranah frekuensi.

Amplitudo fungsi basis dinyatakan sebagai koefisien dalam himpunan hasil
transformasi DCT. Menurut Khayam (2003, hal:4), DCT satu dimensi didefinisikan
pada persamaan berikut :



=
+
=
1
0 2
)12(
cos )()()(
N
x N
ux
xfuauC π
, 1 0 −≤≤ Nu (2.1)

C(u) menyatakan koefisien ke-u dari himpunan hasil transformasi DCT. f(x)
menyatakan anggota ke-x dari himpunan asal. N menyatakan banyaknya suku
himpunan asal dan himpunan hasil a(u) dinyatakan oleh persamaan berikut :

, untuk u = 0
(2.2)
, untuk 1 1 −≤≤ Nu

{ N
1
N
2
= )(ua
Universitas Sumatera UtaraTransformasi balikan yang memetakan himpunan hasil transformasi DCT ke
himpunan bilangan semula disebut Invers DCT (IDCT). IDCT didefinisikan oleh
persamaan di bawah ini :



=
+
=
1
0 2
)12(
cos )()()(
N
u N
ux
uCuaxf
π
, 1 0 −≤≤ Nu (2.3)

DCT dua dimensi dapat dipandang sebagai komposisi dari DCT pada masing-
masing array dimensi. Sebagai contoh, jika himpunan bilangan real disajikan dalam
array 2 dimensi, maka DCT dua dimensi dilakukan dengan cara melakukan DCT satu
dimensi terhadap masing-masing baris dan kemudian melakukan DCT satu dimensi
terhadap masing-masing kolom dari hasil DCT tersebut. Transformasi DCT dua
dimensi dapat dinyatakan dengan persamaan :


N
vy
M
ux
yxfvauavuC
M
x
N
y 2
)12(
cos
2
)12(
cos ),()()(),(
1
0
1
0
+ +
= ∑∑

=

=
π π
(2.4)


Sedangkan rumus untuk IDCT (invers dari DCT) adalah sebagai berikut :


N
vy
M
ux
vuCvauayxf
M
u
N
v 2
)12(
cos
2
)12(
cos ),()()(),(
1
0
1
0
+ +
= ∑∑

=

=
π π
(2.5)

Keterangan :

1. C(u,v) adalah titik koordinat dari matriks yang telah mengalami transformasi
DCT 2 dimensi.

2. M dan N adalah banyak kolom dan baris. Apabila ukuran matriks adalah 8 x 8,
maka nilai M dan N adalah 8.

3. a(u) dan a(v) adalah himpunan hasil yang nilainya ditentukan dari nilai
koefisien u dan v.
Universitas Sumatera Utara 4. f(x,y) adalah nilai pixel dari matriks pada titik (x,y).

5. π bernilai 180o

.

Menurut Fahmi (2007, hal:10), pada transformasi DCT dikenal juga istilah
frekuensi rendah, frekuensi menengah, dan frekuensi tinggi. Hal ini berkaitan dengan
frekuensi gelombang pada fungsi basis DCT. Jika frekuensi fungsi basisnya kecil,
maka koefisien yang berkorespondensi disebut koefisien frekuensi rendah.
Gambar 2.3 menunjukkan contoh pembagian koefisien berdasarkan frekuensinya pada
DCT 8 x 8 menurut Hernandez (2000, hal:61). LF menyatakan daerah koefisien
frekuensi rendah, MH menyatakan daerah koefisien frekuensi menengah, dan HF
menyatakan daerah koefisien frekuensi tinggi.








Gambar 2.3 Pembagian Koefisien Frekuensi DCT Untuk Ukuran Blok 8 x 8


2.5 Penyisipan Bit

Randomly Sequenced Pulse Position Modulated Code (RSPPMC) adalah metode yang
diusulkan oleh Koch dan Zao. Metode ini berdasarkan prinsip format citra JPEG,
yaitu membagi citra menjadi blok-blok 8 x 8 dan kemudian dilakukan transformasi
DCT. Penggunaan teknik penyisipan bit pada tugas akhir ini didasarkan pada cara
RSPPMC ini.

Universitas Sumatera UtaraProses penyisipan watermark dengan metode Discrete Cosine Transform
(DCT) adalah metode kompresi DCT yang dimodifikasi dengan melakukan
manipulasi pada kawasan frekuensi hasil DCT.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Zheng et al (2008, hal:283), maka
luas watermark maksimum yang dapat ditampung dalam suatu citra asli adalah :

64
max _
2
N Luas = (2.6)

dimana N adalah panjang sisi citra asli. Dalam penelitian ini, ukuran blok yang
digunakan adalah 8 x 8 sehingga luas blok adalah 64. Di setiap blok 8 x 8 citra asli
disisipkan 1 bit watermark. Oleh karena itu, syarat suatu watermark dapat ditampung
dalam citra asli adalah :

max _ LuasNwMw ≤× (2.7)

dimana Mw adalah panjang citra watermark dan Nw adalah lebar citra watermark.
Dengan kata lain, luas dari citra watermark harus lebih kecil atau sama dengan luas
watermark maksimum.

Teknik menyisipkan informasi bit pada matrix hasil DCT dua dimensi
merupakan penyederhanaan dari teknik RSPPMC dari IEEE. Ada beberapa cara
dalam menentukan pemilihan posisi penyisipan watermark. Menurut Fahmi (2007,
hal:19), yang perlu diperhatikan adalah pemilihan posisi penyisipan watermark karena
dapat berpengaruh pada fidelity dan robustness. Penyisipan pada koefisien
berfrekuensi rendah lebih robust (tahan) terhadap modifikasi citra, tetapi lebih mudah
mengakibatkan perubahan yang dapat terlihat. Sebaliknya, penyisipan pada koefisien
berfrekuensi tinggi tidak mengakibatkan perubahan yang terlalu besar, tetapi kurang
robust terhadap modifikasi citra. Karena itu, sebagai trade off antara fidelity dan
robustness, banyak skema watermarking yang melakukan penyisipan pada koefisien
frekuensi menengah. Pada matrix hasil DCT, frekuensi tengah biasanya berada daerah
dengan nomor baris antara 4 sampai 7 atau nomor kolom antara 4 sampai 7. Dalam
Universitas Sumatera Utaramenyisipkan bit, terlebih dahulu pilih dua lokasi matriks yang berada pada frekuensi
menengah. Kedua lokasi tersebut sebaiknya memiliki jumlah baris dan kolom yang
sama agar berada pada frekuensi yang dekat (Rodiah, 2004).

Dalam tugas akhir ini, kedua lokasi frekuensi menengah yang dipilih adalah
blok (5,2) dan blok (4,3). Langkah-langkah yang lebih jelas dalam memodifikasi
matriks transformasi DCT terdapat pada sub bab 3.3 di BAB 3.


2.6 Korelasi

Ekstraksi watermark dapat dilakukan dengan cara membandingkan koefisien DCT
citra yang diduga memiliki watermark dengan koefisien DCT citra asli. Data
watermark yang diekstraksi kemudian dibandingkan dengan data watermark asli.

Korelasi adalah penghitungan perbedaan antara dua matriks. Salah satu cara
untuk membandingkan watermark adalah dengan menghitung koefisien korelasi dan
dibandingkan sampai batas tertentu. Jika koefisien korelasi mendekati atau sama
dengan nilai batas tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa watermark yang
diekstraksi dari citra yang diuji memiliki kemiripan dengan watermark asli (Fahmi,
2007). Dalam tugas akhir ini, batas korelasi yang ditetapkan adalah 1. Menurut
Murinto (2005, hal:4), nilai korelasi dapat dihitung dengan persamaan berikut :


∑∑
∑∑
=
i j
ij
ij
i j
ij
W
WW
NC 2
'
(2.8)

Keterangan :

1. Wij

adalah nilai pixel pada lokasi (i,j) untuk watermark asli.
2. Wij

’ adalah nilai pixel pada lokasi (i,j) untuk watermark hasil ekstraksi.
Universitas Sumatera Utara3. NC adalah korelasi atau normalized cross correlation.


2.7 Kelebihan dan Kekurangan DCT

Menurut Kurniawan (2006, hal:3), kelebihan dari metode DCT adalah kokoh terhadap
manipulasi pada stego-object. Selain itu, metode DCT juga tahan terhadap kompresi.
Sedangkan kelemahan dari metode ini terletak pada kesulitan dalam
pengimplementasiannya karena harus melalui langkah-langkah yang panjang sehingga
membutuhkan waktu yang lama dalam melakukan penyisipan.


2.8 Penelitian Sejenis

Beberapa teknik watermarking yang pernah diteliti adalah :

1. LSB (Least Significant Bit).
Diperkenalkan pertama kali oleh Ayman M. Ahmed dan Dwight D. Day dalam
jurnal penelitiannya yang berjudul “OrthogonalTransforms for Digital Signal
Processing” pada tahun 1975. Metode ini merupakan metode yang paling
sederhana, tetapi yang paling tidak tahan terhadap segala proses yang dapat
mengubah nilai-nilai intensitas pada citra. Metode ini akan mengubah nilai
LSB komponen luminansi atau warna menjadi bit yang bersesuain dengan bit
label yang akan disembunyikan. Memang metode ini akan menghasilkan citra
rekonstruksi yang sangat mirip dengan aslinya karena hanya mengubah nilai
bit terakhir dari data. Tetapi sayang tidak tahan terhadap proses-proses yang
dapat mengubah data citra, terutama kompresi JPEG. Metode ini paling mudah
diserang, karena bila pihak lain tahu maka tinggal membalikkan nilai dari
LSB-nya dan data label akan hilang seluruhnya.

2. Patchwork.
Metode ini diusulkan oleh W. Bender, D. Gruhl, N. Morimoto, dan A Lu pada
IBM Systems Journal dengan jurnalnya yang berjudul “Techniques For Data
Universitas Sumatera UtaraHiding” di tahun 1996. Metode ini menanamkan label 1 bit pada citra digital
dengan menggunakan pendekatan statistik. Ketahanan metode ini terhadap
kompresi JPEG dengan parameter kualitas 75 % adalah dapat dibaca dengan
probabilitas kebenaran sebesar 85 %.

3. Pitas dan Kaskalis.
Diperkenalkan oleh I. Pitas dan T.H. Kaskalis pada IEEE Workshop on
Nonlinear Image and Signal Processing dengan jurnalnya yang berjudul
“Applying Signatures on Digital Images” di tahun 1995. Metode ini membagi
citra menjadi dua subset sama besar dimana jumlah biner 1 sama dengan
jumlah biner 0. Kemudian salah satu subset ditambahkan dengan faktor k
(bulat positif) yang diperoleh dari perhitungan variansi kedua subset.
Verifikasi dilakukan dengan menghitung perbedaan rata-rata antara kedua
subset dengan nilai harapan k. Metode ini tahan terhadap kompresi JPEG
dengan faktor kualitas sekitar 90 %.

4. Caroni.
Diperkenalkan oleh J. Caroni pada jurnalnya yang berjudul “Assuring
Ownership Rights For Digital Images” pada tahun 1995. Metode ini membagi
citra menjadi beberapa blok, kemudian setiap pixel dari blok akan dinaikkan
dengan faktor tertentu apabila ingin menanamkan bit 1 dan nilai pixel akan
dibiarkan apabila ingin menanam bit 0. Metode ini tahan terhadap kompresi
JPEG dengan faktor kualitas 30 %.

5. Cox.
Diperkenalkan oleh J. Cox, Joe Kilian, F. Thomson Leighton, dan Talal
Shamoon pada IEEE Image Processing dengan jurnalnya yang berjudul
“Secure Spread Spectrum Watermarking For Multimedia” di tahun 1997.
Metode ini menyembunyikan sejumlah bit label pada komponen luminansi dari
citra dengan membagi atas blok-blok, kemudian setiap pixel dari satu blok
akan dinaikkan dengan faktor tertentu bila ingin menanamkan bit 1 dan nilai-
nilai pixel dari blok akan dibiarkan bila akan menanamkan bit 0. Jika rata-rata
dari satu blok pixel melewati suatu nilai (threshold) tertentu, maka
Universitas Sumatera Utara akan dinyatakan sebagai bit 1. Bila tidak, maka akan dinyatakan sebagai bit 0.
Setelah mengalami kompresi JPEG, metode ini dapat tahan terhadap faktor
kualitas sebesar 30 %.

6. Randomly Sequenced Pulse Position Modulated Code (RSPPMC).
Metode ini diusulkan oleh J. Zhao dan E. Koch dalam jurnalnya yang berjudul
“Towards Robust And Hidden Image Copyright Labeling” pada tahun 1995.
Metode ini bekerja pada domain DCT dengan membagi citra menjadi blok-
blok 8 x 8 dan kemudian dilakukan transformasi DCT. Setelah itu, koefisien-
koefisien DCT tersebut diubah sedemikian rupa sehingga akan mengandung
informasi 1 bit dari label, seperti dipilih dua atau tiga koefisien untuk
disesuaikan dengan bit label yang akan ditanamkan. Contohnya, untuk
menanamkan bit 1 ke dalam suatu koefisien DCT, koefisien kedua harus
diubah sedemikian rupa sehingga lebih kecil dari koefisien pertama.

Pada penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode RSPPMC (Randomly
Sequenced Pulse Position Modulated Code).

Universitas Sumatera Utara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar